Sejarah Kerajaan Kediri ~
Pembagian Kerajaan Mataram (Disnati Isana) menjadi Jenggala (Kahuripan)
dan Panjalu (Kediri) dikisahkan dalam prasasti Mahaksubya (1289 M),
kitab Negarakertagama (1365 M), dan kitab Calon Arang (1540 M). Seperti
telah disebutkan dalam pembahasan terdahulu tentang Kerajaan Mataram
Dinasti Isana, begitu Raja Airlangga wafat, terjadilah peperangan antara
kedua bersaudara tersebut. Panjalu dapat dikuasai Jenggala dan
diabadikanlah nama Raja Mapanji Garasakan (1042 – 1052 M) dalam prasasti
Malenga. Ia tetap memakai lambang Kerajaan Airlangga, yaitu Garuda
Mukha. Sejak saat itulah berdiri suatu kerajaan bernama Kediri. Nah,
pada kesempatan kali ini Zona Siswa akan menghadirkan kehidupan politik, ekonomi, dan sosial-budaya pada masa kerajaan kediri. Semoga bermanfaat. Check this out!!!
A. Kehidupan Politik
Keadaan politik pemerintahan dan
keadaan masyarakat di Kediri ini dicatat dalam berita dari Cina, yaitu
dalam kitab Ling-Wai-tai-ta yang ditulis oleh Chou K’u-fei pada tahun
1178 dan pada kitab Chu-fan-chi yang disusun oleh Chaujukua pada tahun
1225. Kitab itu melukiskan keadaan pemerintahan dan masyarakat zaman
Kediri. Kitab itu menggambarkan masa pemerintahan Kediri termasuk stabil
dan pergantian takhta berjalan lancar tanpa menimbulkan perang saudara.
Di dalam menjalankan pemerintahannya, raja dibantu oleh tiga orang
putranya dan empat pejabat kerajaan (rakryan), ditambah 300 pejabat
sipil (administrasi) dan 1.000 pegawai rendahan. Prajuritnya berjumlah
30.000 orang dengan mendapat gaji dari kerajaan. Raja berpakaian sutra,
memakai sepatu kulit, perhiasan emas, dan rambutnya disanggul ke atas.
Jika bepergian, raja naik gajah atau kereta dengan dikawal oleh 500–700
prajurit. Pemerintah sangat memperhatikan keadaan pertanian, peternakan,
dan perdagangan. Pencuri dan perampok jika tertangkap dihukum mati.
Setelah 58 tahun mengalami masa
suram, Kerajaan Panjalu (Kediri) bangkit lagi sekitar tahun 1116. Raja
yang memerintah, antara lain sebagai berikut.
1. Rakai Sirikan Sri Bameswara
Raja Bameswara pertama adalah Sri
Maharaja Rakai Sirikan Sri Bameswara Sakalabhuwana Sarwwaniwaryya Wiryya
Parakrama Digjayattunggadewa. Hal itu disebutkan pada Prasasti
Pandlegan I yang berangka tahun 1038 Saka (1116 Masehi).
Raja Sirikan masih mengeluarkan prasasti lain, yaitu
- Prasasti Panumbangan berangka tahun 1042 Saka (1120 M)
- Prasasti Geneng berangka tahun 1050 Saka (1128 M)
- Prasasti Candi Tuban berangka tahun 1052 Saka (1130 M)
- Prasasti Tangkilan berangka tahun 1052 Saka (1130 M).
Prasasti lainnya adalah Prasasti
Karang Reja berangka tahun 1056 Saka (1136 Masehi), tetapi tidak jelas
siapa yang mengeluarkannya. Apakah dikeluarkan oleh Bameswara atau
Jayabaya? Lencana kerajaan yang digunakan adalah tengkorak bertaring di
atas bulan sabit yang disebut Candrakapala. Bameswara diperkirakan
memerintah hingga tahun 1134 M.
2. Raja Jayabaya
Pengganti Raja Bameswara adalah
Jayabaya yang bergelar Sri Maharaja Sri Warmmeswara Madhusudana
Wataranindita Parakrama Digjayottunggadewanama Jayabhayalancana. Ia
memerintah pada tahun 1057 Saka (1135 M).
Salah satu prasastinya yang menarik
adalah Prasasti Talan berangka tahun 1508 Saka (1136 M) yang berisi
pemindahan Prasasti Ripta (tahun 961 Saka) menjadi Prasasti Dinggopala
oleh Raja Jayabaya. Dalam prasasti itu, ia disebutkan sebagai penjelmaan
Dewa Wisnu.
Lencana kerajaan yang dipakai adalah
Narasingha, tetapi pada Prasasti Talan disebutkan pemakaian lencana
Garuda Mukha. Pada Prasasti Hantang (1057 Saka) atau 1135 M dituliskan
kata pangjalu jayati, artinya panjalu menang berperang atas Jenggala dan
sekaligus untuk menunjukkan bahwa Jayabaya adalah pewaris takhta
kerajaan yang sah dari Airlangga.
3. Raja Sarweswara
Pengganti Raja Jayabaya ialah Sri
Maharaja Rakai Sirikan Sri Sarweswara Janardhanawatara Wijayagrajasama
Singhanadaniwaryyawiryya Parakrama Digjayattunggadewanama. Sarweswara
memerintah tahun 1159 hingga 1169. Lencana kerajaan yang digunakan
adalah Ganesha.
4. Sri Aryyeswara
Raja Sarweswara kemudian digantikan
oleh Sri Maharaja Rakai Hino Sri Aryyeswara Madhusudanawatararijamukha.
Masa pemerintahan Raja Sri Aryyeswara hanya sampai tahun 1181 dan
digantikan oleh Sri Maharaja Sri Kroncarryadipa Handabhuwanapalaka
Parakramanindita Digjayattunggaduwanama Sri Gandra.
5. Sri Gandra
Pada masa pemerintahan Sri Gandra
dikenal jabatan senapati sarwajala (laksamana laut). Dengan jabatan itu,
diduga Kediri mempunyai armada laut yang kuat. Di samping itu, juga
dikenal pejabat yang menggunakan nama-nama binatang, misalnya Kebo
Salawah, Lembu Agra, Gajah Kuning, dan Macan Putih.
6. Kameswara
Kameswara memerintah Kerajaan Kediri
tahun 1182–1185. Kameswara bergelar Sri Maharaja Sri Kameswara Tri
Wikramawatara Aniwaryyawiryya Parakrama Digjayattunggadewanama. Pada
masa pemerintahan Kameswara, seni sastra berkembang pesat.
7. Kertajaya
Setelah Kameswara mangkat, raja yang
memerintah Kediri adalah Kertajaya atau Srengga. Gelar Kertajaya ialah
Sri Maharaja Sarweswara Triwikramataranindita Srenggalancana
Digjayattunggadewanama. Kertajaya adalah raja terakhir yang memerintah
Kediri. Kertajaya memerintah Kediri tahun 1185–1222.
Pada masa pemerintahannya, Kertajaya
sering berselisih pendapat dengan para brahmana. Para brahmana kemudian
minta perlindungan kepada Ken Arok. Kesempatan emas itu digunakan Ken
Arok untuk memberontak raja. Oleh karena itu, terjadilah pertempuran
hebat di Ganter. Dalam pertempuran itu, Ken Arok berhasil mengalahkan
Raja Kertajaya. Dengan berakhirnya masa pemerintahan Kertajaya, berakhir
pula masa pemerintahan Kerajaan Kediri sebagai kelanjutan Dinasti Isana
yang didirikan oleh Empu Sindok.
Patung Airlangga Menaiki Garuda |
B. Kehidupan Ekonomi
Kediri merupakan kerajaan agraris
dan maritim. Masyarakat yang hidup di daerah pedalaman bermata
pencaharian sebagai petani. Hasil pertanian di daerah pedalaman Kerajaan
Kediri sangat melimpah karena didukung oleh kondisi tanah yang subur.
Hasil pertanian yang melimpah memberikan kemakmuran bagi rakyat.
Masyarakat yang berada di daerah
pesisir hidup dari perdagangan dan pelayaran. Pada masa itu perdagangan
dan pelayaran berkembang pesat. Para pedagang Kediri sudah melakukan
hubungan dagang dengan Maluku dan Sriwijaya.
Pada masa itu, mata uang yang
terbuat dari emas dan campuran antara perak, timah, dan tembaga sudah
digunakan. Hubungan antara daerah pedalaman dan daerah pesisir sudah
berjalan cukup lancar. Sungai Brantas banyak digunakan untuk lalu lintas
perdagangan antara daerah pedalaman dan daerah pesisir.
C. Kehidupan Sosial Budaya
Kondisi masyarakat Kediri sudah
teratur. Penduduknya sudah memakai kain sampai di bawah lutut, rambut
diurai, serta rumahnya bersih dan rapi. Dalam perkawinan, keluarga
pengantin wanita menerima maskawin berupa emas. Orang-orang yang sakit
memohon kesembuhan kepada dewa dan Buddha.
Perhatian raja terhadap rakyatnya
sangat tinggi. Hal itu dibuktikan pada kitab Lubdaka yang berisi tentang
kehidupan sosial masyarakat pada saat itu. Tinggi rendahnya martabat
seseorang bukan berdasarkan pangkat dan harta bendanya, tetapi
berdasarkan moral dan tingkah lakunya. Raja juga sangat menghargai dan
menghormati hak-hak rakyatnya. Akibatnya, rakyat dapat leluasa
menjalankan aktivitas kehidupan sehari-hari.
Pada zaman Kediri karya sastra
berkembang pesat. Banyak karya sastra yang dihasilkan. Pada masa
pemerintahan Jayabaya, raja pernah memerintahkan kepada Empu Sedah untuk
mengubah kitab Bharatayuda ke dalam bahasa Jawa Kuno. Karena tidak
selesai, pekerjaan itu dilanjutkan oleh Empu Panuluh. Dalam kitab itu,
nama Jayabaya disebut beberapa kali sebagai sanjungan kepada rajanya.
Kitab itu berangka tahun dalam bentuk candrasangkala, sangakuda suddha
candrama (1079 Saka atau 1157 M). Selain itu, Empu Panuluh juga menulis
kitab Gatutkacasraya dan Hariwangsa.
Pada masa pemerintahan Kameswara juga ditulis karya sastra, antara lain sebagai berikut.
- Kitab Wertasancaya, yang berisi petunjuk tentang cara membuat syair yang baik. Kitab itu ditulis oleh Empu Tan Akung.
- Kitab Smaradhahana, berupa kakawin yang digubah oleh Empu Dharmaja. Kitab itu berisi pujian kepada raja sebagai seorang titisan Dewa Kama. Kitab itu juga menyebutkan bahwa nama ibu kota kerajaannya adalah Dahana.
- Kitab Lubdaka, ditulis oleh Empu Tan Akung. Kitab itu berisi kisah Lubdaka sebagai seorang pemburu yang mestinya masuk neraka. Karena pemujaannya yang istimewa, ia ditolong dewa dan rohnya diangkat ke surga.
Selain karya sastra tersebut, masih ada karya sastra lain yang ditulis pada zaman Kediri, antara lain sebagai berikut.
- Kitab Kresnayana karangan Empu Triguna yang berisi riwayat Kresna sebagai anak nakal, tetapi dikasihi setiap orang karena suka menolong dan sakti. Kresna akhirnya menikah dengan Dewi Rukmini.
- Kitab Samanasantaka karangan Empu Managuna yang mengisahkan Bidadari Harini yang terkena kutuk Begawan Trenawindu.
Adakalanya cerita itu dijumpai dalam bentuk relief pada suatu candi. Misalnya, cerita Kresnayana dijumpai pada relief Candi Jago bersama relief Parthayajna dan Kunjarakarna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar